Pengurus HMI MPO Komisariat FE UII

" Ketua Umum : Idham Hamidi Sekretaris Umum : M.Arief Sukma Aji Wakil Sekretaris Umum : Geladis Fertiwi Bendahara Umum : Dovy Pradana Purnamawulan Kanit Keislaman : Agus Faryandi Kanit Pelatihan : Mujahid Musthafa Kanit Kajian dan Penlitian : Firzan Dwi Chandra Kanit Kewirausahaan : Muhammad Yadin Kanit PTKPJ : Teguh Hardityo Baskoro Kanit Pers dan Media Informasi : Egy Prastyo
Jumat, 13 Juni 2014 0 komentar

MARS YANG BERMAKNA

MARS YANG BERMAKNA

Oleh: Agus Faryandi


Apa yang harus diperbaiki di HMI..? jawabannya TIDAK ADA YANG PERLU DIPERBAIKI. Kalau kita amati kembali, KHITTOH PERJUANGAN DAN KONSTITUSI sebenarnya sudah kompleks. Walaupun secara pribadi belum menguasai seluruh isi KHITTOH PERJUANGAN dan KONSTITUSI. Yang perlu kita sadari dan pahami bahwa selama ini kita disibukkan  tentang bagaimana dan apa yang terbaik untuk negeri ini. Negeri ini dipimpin oleh manusia, manusia memimpin Negara dengan ilmu dan hati yang dapat bersinergi. Jika manusia memimpin negeri, tidak hanya menggunakan otak tetapi juga menggunakan hati. Maka yang terjadi adalah terciptanya masyarakat sejahtera, aman dan damai. Jadi, sekarang tinggal mengurus SDM-nya.
Pasang surut semangat juang dari setiap kader, perlu diasah kembali dengan apa..??  Merenungi kembali bagaimana pendahulu kita memperjuangkan asas agar tetap murni tanpa campur tangan pemerintah. Kita terlena dengan hiruk-pikuk kapitalisme yang dibawa bangsa Asing ke tengah-tengah permasalahan Negara yang tak kunjung reda.
Sejak awal masuk HMI, ada satu hal yang takkan pernah bisa saya lupakan, yaitu HYMNE DAN MARS HMI. Mengapa demikian?? Pertama kali mendengar dua lagu tersebut hati dan jiwa saya bergetar, terutama MARS HMI. Lirik demi lirik saya coba untuk cermati, dan akhirnya saya pun hafal. Karena ketertarikan terhadap MARS HMI, saya sebisa mungkin mengikuti kegiatan HMI yang didalamnya menyanyikan HYMNE maupun MARS HMI.
Setiap ada LK 1 saya coba datang walaupun sekedar untuk menyayikan dua lagu penting (bagi saya pribadi). Beberapa pekan kemudian  saya sadar, dua lagu tersebut sanga erat akan makna, terutama MARS HMI. Setiap alinea memiliki makna yang berbeda. Di alinea kedua disebutkan “HIJAU KETEGUHAN IMAN, HITAM KEDALAMAN ILMU, PUTIH KETULUSAN AMAL, DI BAWAH NAUNGAN ILAHI..” pada alinea keempat “IMAN PERINSIP ABADI, ILMU BEKAL YANG HAQIQI, AMAL KENDARAAN DIRI, MENUJU RIDLO ILAHI..” kalau kita cermati disana ada kata-kata Iman, Ilmu, dan Amal yang diletakkan secara berurutan. Mengapa demikian? Saya rasa pencipta lirik lagu tersebut tak asal meletakkannya.
Pertama adalah Iman. Iman sebagai dasar kita bermuamalah maallah warrasul. Tanpa adanya iman di dalam hati, kita tidak akan tergerak untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Secara harfiyah iman adalah kepercayaan, yang berasal dari kata amana yu’minu sedangkan secara terminologi iman adalah keyakinan dalam hati, ikrar di lisan, dan implementasi dalam bentuk perbuatan dan tindakan.
 Kedua adalah Ilmu. Seseorang beribadah tanpa tahu ilmunya, seperti orang buta yang sedang berjalan. Betapa pentingnya ilmu sampai nabi Muhammad SAW bersabda : Tholabul Ilmi Faridhotun ‘Alaa Kulli Muslimin Wa Muslimatin.. yang artinya mencari ilmu bagi muslim laki-laki dan perempuan hukumnya fardhu (wajib). Untuk mengukur dan menunjang pergerakan organisasi ini pun butuh ilmu, baik buruknya, positif tidaknya, serta bermanfaat enggaknya semua dapat diukur dengan ilmu. Di dalam Al-qur’an sering kita jumpai di akhir ayat berbunyi… Afala Ta’qiluun,… Afala Tubshiruun, dengan berbagai macam dalil dari Allah kita diajak untuk berfikir dengan otak yang kita miliki. Perbedaan kita (manusia) dengan hewan adalah akal pikiran. Jika kita tidak bisa memaksimalkan karunia Allah tersebut maka tiada bedanya kita dengan hewan di sekitar kita. Dalam keadaan kita yang sekarang ini selalu dikelilingi dengan maksiat yang tidak pernah kita sadari sebelumnya. “Ilmu tidak akan masuk kepada orang-orang yang suka bermaksiat, karena ilmu itu cahaya. Dan cahaya Alloh tidak akan diberikan kepada orang yang suka bermaksiat”, kata Imam Syafi’ie. Setelah kita mengetahui kegunaan otak bukan berarti kita dapat seluas-luasnya menggali ilmu Alloh, kita tidak diperkenankan untuk ikut memikirkan Amalullah, karena itu daerah kekuasaan Alloh Wallahu A’lam (hanya Allah yang tahu). Oleh karena itu Allah menciptakan hati (iman) untuk mengawasi tindak-tanduk dari akal.
Ketiga adalah Amal. Setelah keduanya (iman dan ilmu) sudah kita genggam, barulah kita bisa melaksanakan yang terakhir, yang kita sebut dengan finishing touch. Iman dan ilmu tanpa adanya implementasi (Amal) is noncense. Yang diharapkan sekarang adalah aplikasi dari setiap wacana yang sering digaung-gaungkan baik itu di komisariat, cabang, maupun PB (Pengurus Besar). Jika Iman, Ilmu, serta Amal dapat kita tuangkan dalam kehidupan sehari-hari, maka akan tercipta Khalifah Fil Ard yang kita impikan. Setelah tercipta Kholifah Fil Ard tersebut imbasnya kepada tatanan masyarakat yang makmur, adil, dan sejahtera. Mari bangun ikhwan seperjuangan ! HMI ada untuk menjawab persoalan yang selama ini mendera negeri ini. Kita wujudkan impian para pendahulu kita. Selalu YAKUSA (Yakin Usaha Sampai).   
Senin, 09 Juni 2014 0 komentar

Gerakan HMI-Wati di zaman Kontemporer

Gerakan HMI-Wati di  Zaman Kontemporer

                Berbicara tentang KOHATI, ada beberapa pikiran yang langsung mengarah kepada kader-kader putri HMI dan ada juga yang masih bertanya-tanya, “Apa itu KOHATI?” KOHATI atau Korps HMI- Wati adalah suatu wadah untuk mewadahi para putri HMI. Terbentuknya KOHATI tentu bukan tanpa alasan.
            Faktor internal yang mengharuskan KOHATI untuk dibentuk adalah karena departemen keputrian sudah tidak sanggup menampung aspirasi dari para putri HMI. Selain itu, kebutuhan mereka akan keperempuanan tidak difasilitasi. Faktor eksternal, penyebab KOHATI dibentuk, karena adanya lawan ideologi, yaitu GERWANI (Gerakan Wanita Indonesia).
            KOHATI dibentuk pada tanggal 17 September 1966 pada kongres VIII di Solo. KOHATI berperan sebagai pencetak dan pembina Muslimah sejati untuk menegakkan dan mengembangkan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan, sedangkan fungsinya sebagai wadah peningkatan dan pengembangan potensi kader Hmi dalam wacana dan fungsi serta perannya akan keperempuanan.
Dari uraian diatas tafsir dari peran dan fungsi Kohati adalah sebagai akselerator perkaderan bagi HMI-Wati, terutama diarahkan pada pembinaan akhlak, intelektual, ketrampilan, kepemimpinan, keorganisasian, keluarga yang sejahtera serta memberikan manfaat di dalam masyarakat.
Jika melihat KOHATI di zaman dulu, para KOHATI sudah melaksanakan fungsi dan perannya sebagai KOHATI. Mereka memiliki semangat yang sangat tinggi. Ketika kondisi kepemerintahan di Indonesia sedang bermasalah, ketika Soeharto melarang kerasnya adanya gerakan dari mahasiswa, para HMI- Wati tetap nekad melakukan aktivitas yang bisa saja merenggut nyawanya, salah satunya adalah diskusi dan rapat koordinasi. Mereka harus sembunyi- sembunyi dan berpindah-pindah tempat ketika akan ada diskusi. Bahkan ketika penataran (salah satu pendidikan normatif di KOHATI)  pun, masyarakat tidak ada yang tahu.
Melihat suasana KOHATI jaman dulu, sangatlah menegangkan dan penuh daya juang. Mereka adalah heroik sesungguhnya. Mereka tetap menyuarakan apa-apa yang tidak benar di tengah kondisi lingkungan perpolitikan yang kurang ramah. Beberapa contoh gerakan  HMI- wati yang dengan tegas menegakkan kebenaran berdasarkan syariat islam yaitu,  Bidari Nuraini Sugeha., salah satu aktivis putri HMI. Beliau adalah ketua KOHATI di Bolmong Raya. Bidari menolak keras adanya program Pekan Kondom Nasional karena dinilai kurang bijak dan seakan-akan memberi pintu besar untuk menambah angka free sex di Indonesia. Tidak hanya Bidari yang tergerak hatinya untuk memperjuangkan syariat Islam demi kehormatan kaum perempuan. Lalu ada KOHATI di Jawa Timur yang menyuarakan bahwa POLWAN harus berjilbab untuk memperingati hari ibu, dan masih banyak lagi gerakan gerakan menolak keras dan berani untuk menegakkan syariat isla di berbagai aspek.
Di Zaman globalisasi ini, gerakan dan semangat juang para perempuan sudah menurun, bahkan tidak nampak seperti zaman dulu yang dengan lantang membela kaum mereka, yaitu kaum perempuan. Banyak perempuan yang sudah hanyut dalam kenyamanan situasi dan kondisi di Indonesia ini. Bahkan, budaya barat sudah berhasil menguasai Indonesia yang memiliki khas ketimurannya. Westernisasi sudah sangat sukses mendominasi kebudayaan di berbagai aspek. Aspek pakaian, makanan, bertingkah laku, pemikiran, dan kepedulian terhadap sesama, terhadap masyarakat. Sikap apatis dan individualis serta hedonisme, itulah gambaran perempuan masa kini. Mereka kurang peka terhadap lingkungan di sekitar. Mereka hanya memikirkan untuk dirinya sendiri. Banyak juga yang menuntut akan kesetaraan gender, banyak yang bangga akan kesetaraan gender, padahal pada kenyataannya mereka masih terjebak pada anggapan-anggapan bahwa perempuan lemah, bahwa perempunan memiliki keterbatasan dalam bergerak. Tidak hanya itu. Dalam pendidikan pun, tidak sedikit perempuan yang sekarang malas, bahkan cuek dengan ilmu. Mereka mengartikan bebas, yang sebebas-bebasnya. Mereka tidak paham atau bahkan mereka sebenarnya sudah paham namun lebih memilih cuek dan menutup hati untuk menerima pemahaman akan kebebasan dari perempuan. Tujuan perempuan masa kini lebih kepada materialitas bukan pada pengabdian kepada masyarakat, bukan lagi kepada memberikan manfaat untuk orang banyak.
Kembali menyorot HMI-Wati. Melihat gerakan dari HMI-Wati saat ini juga menurun, bahkan telah redup. Hampir di setiap kegiatan, tingkat partisipasi HMI-Wan telah mendominasi. Sudah tidak ada keseimbangan di dalam pertisipasi nya. Bahkan kualitas intelektual serta daya kritisnya juga hampir pudar. Bahkan bisa dibilang tidak adanya bedanya antara HMI-wati dengan perempuan-perempuan lainnya. Karakter HMI-Wati sunyi, HMI-Wati mati.
Melihat ke luar atau tidak usah terlalu jauh, melihat diri sendiri, bisakah kita menjawab,” Apa yang sudah aku lakukan untuk masyarakat, untuk negaraku?” Lalu cobalah melihat ke luar, ke masyarakat. Apakah mereka makmur? Apakah semua sudah berjalan dengan baik dan benar? Khususnya kaum perempuan? Apakah pendidikan, ekonomi, sosial, dan politik sudah bersinergi sehingga terwujudnya masyarakat yang makmur?
HMI-Wati haruslah berbeda dengan perempuan lain. Kita sudah dilatih untuk berpikir kritis, menyusun strategi, dan bertindak demi suatu perubahan. HMI-Wati haruslah lebih semangat, haruslah memiliki daya juang yang tinggi. HMI-Wati haruslah sadar dan peka hatinya untuk memahami arti dari pengabdian.
Memang setiap perubahan zaman,akan diikuti perubahan kondisi dan situasi. Tapi apa itu mempengaruhi ghirah kita untuk berjuang?
Tantangan yang dihadapi tentulah berbeda, namun ghirah yang dimiliki HMI-Wati haruslah tetap membara. Tantangan kita sekarang adalah adanya westernisasi yang sedikit demi sedikit  mendominasi budaya bangsa kita.. Banyak sekali hal hal yang tidak tersaring dan langsung diterima oleh kita.
Lalu perjuangan apa yang bisa kita lakukan sebagai HMI-Wati? Melihat tujuan dan karakter insan dari KOHATI, kita mengemban amanah menjadi perempuan berkatakter mar’atusholihah. Mulailah meyadarkan diri sendiri. Mulailah dari diri sendiri. Kita harus memfilter budaya-budaya baru yang masuk ke Indonesia. Maksudnya adalah, mengambil sisi positif dari dampak globalisasi, membuang dampak negatifnya, dan pertahankan pribadi bangsa kita. Memperbaiki ibadah dan akhlak secara bertahap. Semangat mencari ilmu sebanyak-banyaknya, melatih rasa peduli dan sikap peduli. Lalu memberikan manfaat untuk orang banyak, memberikan konstribusi  setidaknya pikiran dan waktu. Menjadi anak yang selalu menyenangkan hati orangtua, menjadi istri yang shalihah, dan menjadi ibu yang memiliki banyak ilmu untuk mendidik anaknya agar menjadi penerus generasi yang berkualitas baik dari segi intelektual maupun tindakan.
Lagi lagi berbicara tentang tujuan, peran, dan fungsi dari KOHATI, kita mempunyai beban moral sekaligus amanah. Kita harus berani antimainstream agar kita tetap berjalan sesuai jalur dan diridhai oleh Allah SWT. Apakah KITA, HMI-Wati tetap akan sunyi? Semua KITA, HMI-Wati yang membawa KOHATI akan menjadi seperti apa.
JAYALAH KOHATI! 
Oleh : Zukria Violeta Ramadhani
Minggu, 20 Januari 2013 0 komentar

Relevansi UII dan HMI

Relevansi UII dan HMI

Oleh: Rangga Permata 



Rabu Pon, 14 Rabiulawal 1366 H atau bertepatan dengan 5 Februari 1947 M pukul 16.00 disalah satu kelas di perguruan tinggi Islam swasta, HMI di bentuk. Setidanya ada 20 orang yang berperan dalam pendirian organisasi ini diantaranya Lafran Pane, Kartono, Dahlan Husein, Anton Timur Djaelani, Yusdi Ghozali dan lain-lain (Chozin, 2011). 
Sosok yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah baik UII mapun HMI adalah Lafran pane, beliau adalah salah satu mahasiswa angkatan awal STI. Sosok ini semakin kuat perannya bagi UII adalah dikala beliau menjabat sebagai ketua distruktur awal senat mahasiswa STI paska perpindahan kampus ini dari Jakarta ke Yogyakarta, dikarenakan Agresi Militer 1 Yaitu sebagai ketua III yang khusus mengurusi soal-soal kemahasiswaan. 
Peran yang beliau mainkan tidak hanya berhenti di Intra kampus saja, tetapi juga beliau turut serta aktif dilembaga ekstra kampus sebagai pengurus pusat PMY (Persatuan Masyarakat Yogyakarta) untuk wilayah STI, karena pada waktu itu ditubuh STI ada seksi yang diebut “Seksi PMY” yang diketuai oleh Lafran Pane (Sejarah dan Dinamika UII, 2002).
Pengalaman di dua organisasi inilah yang akhirnya menjadi salah satu faktor munculnya inisiatif beliau mendirikan HMI organisasi mahasiswa Islam pertama di Indonesia. 
Tapi jika kita mau melirik lebih jauh kebelakang maka kita mungkin bisa menemukan sebuah skema sejarah yang unik, terkait dengan relevansi organisasi tertua di Indonesia dengan kampus tempatnya dilahirkan.

STI cita-cita umat Islam
Dalam buku setengah abad UII dan sejarah dinamika UII tergambar semangat mendirikan kampus ini jauh sebelum kampus ini benar-benar berdiri tahun 1945. Perjalanan panjang itu diawali dengan Masuknya gerakan pembaharuan Islam di pulau jawa ditandai dengan berdirinya “Jami’at Khoir” pada 1905. Berdirinya organisasi ini diikuti oleh berdirinya organisasi-organisasi Ilam lainnya di jawa, seperti Syarika Dagang Islam (1911) di Surakarta, Muhammadiyah (1912) di Yogyakarta, Al Ishlah wal Irsyad (1914) di Jakarta, Persatoean Oemat Islam (1917) di Majalengka, Persatoean Islam (Persis) di Bandung (1923), Nahdhatul Ulama (NU) di Surabaya (1926) dan lain-lain
Beberapa organisasi-organisasi Islam itu telah memunculkan keinginan-kienginan untuk memiliki lembaga pendidikan yang dapat memberikan pelajaran yang seimbang antara ilmu agama dan ilmu keahlian (keterampilan). Dimana sistem pendidikan agama pada waktu itu dirasa  kurang seimbang karena hanya mekankan pada ibadah-ibadah khusus tanpa ilmu prksis yang diperlukan dalam kehidupan dan penghidupan.
Keinginan pendiriann perguruan tinggi Islam ini pertama kali kumandangkan oleh Syarekat Islam (perubahan SDI). Pada mukhtamar seperempat abag muhammadiyah di Jakarta tahun 1936 diputuskan untuk melanjutkan keinginan SDI tersebut dengan  mendirikan Sekolah Islam Tinggi, fakultas dagang dan Industri. Di Majalengka Kiai Abdul Halim dengan Persatoean Oemat Islam telah mendirikan lembaga pendidikan terlebih dahulu, dengan mendirikan lembaga pendidikan setingkat Ibtidaiyah sampai al Jami’ah (perguruan tinggi)yang berlokasi di atas gunung dan tanah belukar yang diberi nama “Santi Ashrama” bahkan di sumatera barat keinginan untuk mendirikan perguruan tinggi Islam dimulai oleh Mahmud Junus pada tahun 1932 di batu sangkar. Usaha-usaha itu kemudian dilanjutkan ke Padang oleh Mahmud junus dan Mukhtar Jahja.
Pada Tahun 1938 , Dr Soekiman Wirjosandjojo di jawah tengah pernah menyelenggarakan musyawarah dengan beberapa ulama dan kaum cendikiawan untuk membicarakan pendirian Perguruan Tinggi Islam yang di beri nama “Pesantren Luhur” beliau juga pernah menyampaikan ide ini pada majalah Pedoman Masyarakat No 15 Tahun IV 1938, alasan yang di kemukakan Dr Soekiman Wirjosandjojo adalah”sewaktu Indonesia tidur , oderwijs (pengajaran)agama di pesantren sudah mencukupi keperluan umum. Akan tetapi seetelah Indonesia terbangun maka diperlukan adanya Sekolah Tinggi Agama, apalagi dengan banyaknya kaum kristen yang mendirikan lembaga pendidikan dengan biaya yang murah (Setengah abad UII, 1997).
Selain menuliskan gagasannya Dr Soekiman Wirjosandjojo juga menyampaikannya kedalam forum Muhtamar Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI) tahun 1939, tindak lanjut dari hasil Muhtamar ini maka didirikanlah Perguruan Tinggi Islam di Solo , namun perguruan ini hanya bertahan sampai 1941 dan terpaksa ditutup karena pecahnya perang dunia ke II. Empat puluh tahun abad pertama 1901-1941 di Indonesia telah banyak berdiri lembaga-lembaga pendidikan  Islam baik dari tingkat dasr sampai tingkat perguruan tinggi, namun nampak jelas pendidikan tinggi yang pernah ada (sampai 1941) lebih bersifat percobaan dan sementara disamping itu juga tidak ada jiwa persatuan.
Usaha-usaha untuk menarik dukung untuk mendirikan sebuah lembaga perguruan tinggi tidak henti-hentinya dilakukan, baik melalui forum resmi maupun menggunakan media-media yang ada, 
Dalam perjalanan selanjutnya, masuknya penjajahan jepang ke Indonesia pada tahun 1942 sedikit banyak merubah skema perpolitikan di Indonesia karena pemerintahan jepang melarang seluruh partai politik kecuali MIAI, yang akhirnya berganti nama menjadi Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Masyumi beranggotakan empat organisasi Islam yaitu Muhammadiyah, Persatoean Oemat Islam (POI), Nahdhatul Ulama (NU), Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) (Sejarah dan dinamika UII, 2002)
Melalui wadah Masyumi inilah akhirnya awal tahun 1945 dhasilkan beberapa keputusan penting dalam perjuangan dalam bidang bidang pendidikan dan politik. Diantaranya terdapat dua keputusan menari yaitu:
Pertama, membentuk barisan mujahidin dengan nama Hizbullah, barisan ini terbukti memainkan peranan penting dalam sejarah perjuangan Indonesia menjelang maupun sesudah Indonesia merdeka,
Kedua ,  mendirikan Perguruan Tinggi Islam dengan nama Sekolah Tinggi Islam (STI).
Sebagai follow up dari keputusan untuk mendirikan STI maka pada bulan April 1945 Masyumi menyelenggarakan pertemuan di jakarta dengan menundang para Ulama dari perserikatan Islam serta para intelektual dan unsur pemerintahan. Yang hadir dalam pertemuan april 1945 tersebut ikut mengambil keputusan lebih kongkrit tentang didirikannya STI.
Langkah selanjutnya semakin memberikan kejelasan bahwa perguruan tinggi yang di impi-impikan akan segera terwujud. Panitia perencana STI terbentuk dengan struktur: Ketua : Drs Moh. Hatta. Wakil Ketua : Mr Suwandi. Sekretaris: Dr Ahmad Ramali. Anggota : KH Mas Mansyur, KH Wachid Hasyim, KHR Fatchurrahman Kafrawi, KH Faried Ma’roef. KH Abdul Kahar Muzakkir.
Panitia STI ini berhasil merumuskan tujuan didirikan STI yang berbunyi “untuk adanya perguruan tinggi yang memberikan pelajaran dan pendidikan tinggi tentang ilmu-ilmu agama Islam dan Ilmu-Ilmu masyarakat agar menjadi pusat penyiar agama dan memberikan pengaruh Islam di Indonesia”. Panitia STI juga menyatakan bahwa STI didirikan oleh badan wakaf dan dari umat Islam. 
Pada tanggal 27 rajab 1367 atau tanggal 8  Juli 1945 dikantor Imigrasi pusat Gondangdia Jakarta, dilakukan pelaksanaan pembukaan STI, adapun Pada tanggal 27 Rajab dipili sebgai momentum peringatak Isra’ Miraj nabi Muhammad SAW dalam perjalanan menjemput perintah shalat, tanggal ini juga harapannya sebagai lambang kesucian. 
Perpindahan STI awal mula babak baru
Setelah 40 hari STI dibuka secara resmi yaitu tanggal 17 Agustus Indonesia mengumandangkan proklamasi kemerdekaan. Beberapa bulan setelah itu Belanda memboncengi tentara sekutu mendarat di Indonesia, dalam rangka berusaha merebut melakukan penjajahan kembali atas wilayah yang dulu pernah mereka jajah. Kehadiran Belanda bersama Sekutu membuat suhu perpilitikan dan perjuangan kembali memanas sehingga Jakarta pada waktu itu dianggap cukup berbahaya. 
Pemerintahan Indonesia akirnya mengambil keputusan untuk meninggalkan jakarta menuju Yogyakarta, perpindahan itu terjadi pada tanggal 4 Januari 1946, dan sejak itu juga Pemerintah pindah ke Yogyakarta, kota yangg kemudian dijadikan Ibu kota sementara Republik Indonesia. Sekolah Tinggi Islam yang waktu itu baru beberapa bulan terpaksa ikutt pindah ke Yogyakarta karena dua hal:
1. Jakarta dalam situasi perang yang tentu saja tidak menjamin kelancaran perkuliahan.
2. Para dosen dan pengurus STI banyak yang mengikuti kepindahan Ibukota RI ke Yogyakarta sebagai pemerintah pusat. beberapa diantaranya adalah . KH Abdul Kahar Muzakkir (Rektor pertama STI). Moh Hatta (Dewan Kurator STI) dll
Pada tanggal 10 April 1946 atau 8 Jumadil awwal 1365 dilakukan upacara pembukaan kembali STI yang bertempat di Dalem pengulon Yogyakarta, dengan dua agenda penting yaitu pembacaan pidato oleh Moh Hatta (Wapres sekaligus Dewan Kurator STI) dan Kuliah Umum tentang Ilmu Tauhid oleh KH R Hadjid.
Semenjak STI di buka kembali di yogyakarta perkuliahan mulai berjalan kembali namun perlu di akui perkuliahan masih kurang berjalan lancar karena situasi pada saat itu merupakan masa-masa mempertahankan kemedekaan dari uapaya Belanda dan sekutu untuk kembali menjajah Indonesia. Hal ini wajar terjadi karena hampir sebagain besar dari para sivitas akademika STI adalah para pejuang bahkan tidak sedikit dari mereka ikut berperang dan bergreliya melawan penjajah (Sejarah dan Dinamika UII, 2002). 
Usaha umat Islam dan perjuangan yang ditujukan oleh kelompok Islam bersama Intelektual Islam untuk mendirikan sebuah lembaga perguruan Tinggi Islam memang perlu medapatkan perhatian sebagai sebuah langkah yang memiliki pandangan jauh kedepan dalam upaya membekali umat menjawab tantangan zaman.
Sebagai mahasiswa awal dari STI sedikit banyak Lafran pane mewarisi semangat para pendahulunya itu, pendirian HMI pun secara tidak langsung terpengaruh oleh semangat doktrin dan perjuangan yang didapatkan dari para pendiri dan pengajar STI di awal kampus ini berdiri. Bahkan Lafran pane sebelum pembentukan HMI  bersama beberapa orang yang semua dari mereka adalah mahasiswa dari Sekolah Tinggi Islam mengadakan pertemuan untuk membicarakan bagaimana seharusnya menghadapi tantangan zaman dan menyusun pedoman sebagai penyalur cita cita para cendikiawan muslim muda pada ketika itu. 
Walaupun pada akhirnya Lafran pane juga mengakui bahwa pembentukan HMI dirasa sedikit terburu-buru dikarenakan kebutuhan mendesak bagi para cendikiawan muslim muda untuk ikut serta didalam perjuangan kemerdekaan nasional. Ini baginya sendiri berarti tugas untuk melestarikan dan mengamankan ajaran-ajaran Islam  (Victor tanja, 1982)
Jelas sudah, upaya beliau dan kawan-kawan untuk ikut membicarakan bagaimana nasib umat Islam kedepan sekaligus berusaha tetap mempertahankan kemerdekaan menjadi bukti kesamaan visi yang diemban oleh STI dan HMI
Dan tidak hanya berhenti disana langkah yang dilakukan sivitas akademika STI berperang dan bergreliya juga turut diikuti oleh para mahasiswa tahun awal ini, bahkan Anggota HMIpun dimasa awalnya berdiri ikut memangku senjata.
Ideologi Jihad yang dipahami para tokoh Islam pada waktu itu juga sudah tertanam kedalam diri anak didik STI diawal kemerdekaan, sehingga ketidak lancaran perkulihan salah satunya diindikasikan karena mahasiswanyapun ikut dalam perperangan dan greliya untuk mengusir penjajah.
Kedekatan antara HMI dan Masyumi juga tidak bisa begitu saja dianggap sebagai sebuah kedekatan yang terjadi secara kebetulan, karena seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Masyumi telah berhasil mengumpulkan berbagai elemen umat Islam untuk mendirikan STI kampus tempat HMI lahir, beberapa pengurus dari masyumipun adalah para pendiri STI ataupun sivitas akademika STI salah satunya yang terkenal adalah M Natsir.  Namun kedekatan antara HMI dan masyumi hanyalah sebatas kedekatan Ideologi dan kedekatan kultulral semata, karena HMI sejak awal pembentukannya selalu menjaga sikap independensi untuk tidak di bawah partai manapun.
Pada akhirnya kehadiran HMI tidak dapat dilepaskan dari semangat yang ditularkan oleh pendahulunya di STI, bahkan penting untuk diingat pendirian HMI mendapatkan sambutan baik dari bapak KH A Kahar Muzakir dengan memberikan bantuan finansial setiap bulannya Rp 25 untuk kelangsungan organisasi ini. 
Akhirnya skema unik yang tergambar dari perjalanan sejarah HMI dan UII hendaknya menjadi refleksi bagi semua Keluarga Besar UII bahwa kampus ini memiliki semangat perjuangan yang begitu besar bukan saja untuk kebangkitan Indonesia tetapi untuk kebangkitan umat Muslim, sebuah refleksi yang menarik untuk direnungkan adalah “seseorang bisa menjadi besar dengan mewarisi kebesaran dan semangat para pendahulunya”
Seandainya refleksi itu mampu direnungkan maka suatu saat nanti wajar jika akan muncul para tokoh-tokoh besar, cendikiawan yang mampu menyelaraskan Ilmu dunia dan agama dari rahim HMI ataupun STI (sekarang UII).  Wallaaahu a’lam bissawab
Sabtu, 12 Januari 2013 0 komentar

PEMUDA GARUDA


ANTARA KEBANGGAAN, KEPEDULIAN DAN HASRAT DALAM MEMBANGUN BANGSA

Oleh : Bayu seto

            Nusantara, atau saat ini lebih dikenal dengan nama Indonesia. Sebuah dataran yang tercipta dengan sangat menakjubkan oleh sang pencipta, dimana didalamnya dianugerahi tuhan dengan berbagai macam keindahan yang terpancar dari alamnya yang berupa daratan dan lautan. Alam yang tak hanya memperlihatkan keagungan tuhan dalam memenuhi kebutuhan makhluknya akan keindahan, tetapi juga memenuhi kebutuhan makhluknya untuk hajat hidupnya. Tapi, apakah negara ini mengandalkan sumber daya alam ini sebagai elemen terpenting untuk menjamin dan memenuhi keberlangsungannya? Saya rasa tidak berlebihan jika jawabannya adalah “TIDAK”. Ada sebuah elemen lagi yang merupakan salah satu bagian terpenting dalam menjalankan negara ini. Elemen inilah yang yang dapat menjaga elemen lainnya di negeri Indonesia ini, elemen yang diberikan anugrah berupa keleluasaan oleh Tuhan untuk melakukan apa yang dikehendakinya. Elemen yang dapat memberi pengaruh besar bagi pembangunan bangsa. Elemen itu bernama manusia. Tidak, tidak, rasanya lebih tepat kalau kita menyebutnya sebagai PEMUDA.
Pemuda, rasanya tidak salah jika menyebut elemen ini sebagai yang terpenting dalam membangun bangsa ini. Mereka (para pemuda) diberikan sebuah “hadiah yang sangat berharga” oleh Tuhan yang terdapat pada diri mereka, “hadiah” itu adalah pikiran dan dilengkapi oleh nafsu dan akal. Atribut yang jelas tidak diberikan terhadap makhluk ciptaan lainnya.
Dalam membangun bangsa ini, campur tangan pemuda tak bisa, atau bisa dikatakan tidak boleh dipisahkan dalam sejarah nusantara ini. Para pemuda, pada saat itu memiliki peran yang sangat besar dalam “peresmian” hari kemerdekaan bangsa ini. Pada saat itu, para pemuda memiliki sesuatu, yang bisa dikatakan, saat ini hanya segelintir pemuda yang memilikinya, hal itu adalah “SEMANGAT NASIONALISME”. Sebuah hal yang yang dapat menciptakan energi yang entah dari mana datangnya. Kemudian lahirlah sebuah lambang negara yang sangat filosofis, sebuah lambang yang dapat menggambarkan negara ini, bukan hanya dari nilai-nilai dasarnya, tetapi juga karakter hingga segala hal yang menjadi cita-cita para pendiri bangsa ini. Hal ini dapat dilihat dari segala atribut yang terdapat pada lambang burung garuda tersebut, mulai dari lambang Burung Garuda itu sendiri yang melambangkan kekuatan alami yang berasal dari penciptanya, kemudian fisiknya, yaitu bulu yang menandakan hari kelahiran bangsa Indonesia, lalu perisai yang dihiasi dengan lambang-lambang yang melambangkan dasar negara Indonesia, kemudian pita yang melambangkan Bhinnka Tunggal Ika, yang merupakan ciri khas dari bangsa Indonesia. Lantas pertanyaannya, apakah para pemuda bisa membangun bangsa ini dengan mulai membangun diri kita sendiri dengan segala nilai yang terkandung dalam lambang negara kita tersebut?
Pemuda pada masa ini, sudah seharusnya dan sepatutnya melanjutkan perjuangan untuk pembangunan bangsa. Memang, negara ini telah dibangun secara lebih baik dibanding masa lalu. Dari segi ekonomi, budaya, pendidikan, dan berbagai bidang lainnya. Dan pada realitanya, memang semakin banyak pemuda bangsa yang berkontribusi dalam pembangunan bangsa dari aspek ekonomi, pendidikan, pemberdayaan budaya lokal, dan masih banyak lagi. Tapi, yang harus digarisbawahi, saat ini kebanyakan pemuda mempunyai sebuah pemikiran bahwasanya pembangunan bangsa terpusat pada bidang ekonomi. Well, itu sah-sah saja, harus diakui bahwa ekonomi memberikan peran sangat sentral dalam pembangunan sebuah bangsa. Namun ada sebuah hal yang mesti diingat, bahwa dibalik pembangunan kondisi ekonomi bangsa yang terus berkembang, para pemuda harus memberikan kontribusi dan inovasi tiada henti untuk tetap memberikan sebuah kestabilan bagi bangsa itu sendiri. Di situlah diperlukan mentalitas, dalam pencapaian tujuan pribadi maupun tujuan bangsa.
Tapi apakah nilai-nilai pancasila sudah tidak relevan dengan perkembangan dunia yang sangat dinamis? Tentu saja tidak, Pancasila memiliki nilai kandungan yang universal dan kontemporer.
Apakah kita bangga memiliki Pancasila sebagai dasar negara kita? Semoga saja jawaban kita adalah “IYA”. Setiap pemuda mempunyai cara yang berbeda dalam membanggakan bangsanya. Kita bisa mengambil contoh dari hal yang paling kecil saja, yaitu penggunaan bahasa Indonesia dalam pergaulan di dalam negeri saja dulu. Atau mungkin jika harus membandingkan, tak ada salahnya kita  mewarisi watak bangsa yang pernah menjajah kita, yaitu Jepang. Mereka bangga akan atas segala yang menjadi budaya dan produk mereka, mereka menerapkan dumping bagi produk dalam negeri mereka. Tapi lihatlah yang terjadi, produk dari negara itu merajai pasar di negerinya, sungguh luar biasa. Lalu, tidakkah kita malu melihat sebuah bangsa yang telah kita kalahkan, ternyata lebih baik dalam kebanggan dan kepedulian terhadap apa yang menjadi kepunyaannya. Lantas, bisakah kita seperti pemuda Jepang, setidaknya dalam mencurahkan perhatian terhadap bangsa kita saja.
Apakah kebanggan itu diperlukan walaupun berlebihan, jawabannya tergantung dari masing-masing orang memandangnya. Kebanggan muncul karena ada kepedulian yang muncul dari dalam diri. Kepedulian biasanya muncul karena adanya rasa cinta yang mendalam terhadap sesuatu yang diberikan rasa kepedulian itu. Kita bisa mencontoh sosok Dahlan Iskan ataupun Joko Widodo. Mereka begitu mencintai segala hal yang berhubungan dengan nilai-nilai yang menjadi ciri khas Indonesia. Lihatlah bagaimana seorang Joko Widodo yang begitu antusias untuk mengembangkan sistem ekonomi gotong royong, dimana pihak yang mampu membantu pihak yang kurang mampu dalam hal permodalan dan hal lainnya, ini bisa dilihat dari kepedulian Jokowi Widodo pada pedagang pasar tradisional daripada pedagang pasar modern. Gebrakan lain dari Joko Widodo bisa dilihat bagaimana ia menolak pembangunan pusat perbelanjaan modern hingga sempat “bersitegang” dengan Bibit Waluyo demi terjaganya cagar budaya, yaitu pabrik es Sari Petojo. Sedangkan Dahlan Iskan yang tidak ragu untuk berinovasi dengan kebijakan “1 juta sambungan sehari” sehari setelah ia dilantik menjadi menteri BUMN, dan juga hasrat darinya yang menginginkan adanya konversi BBM ke BBG, yang mana hasratnya itu sudah menemui titik terang dengan telah di-launching-nya mobil berbahan bakar gas, walaupun belum ada izin resmi untuk menjualnya di pasaran, tapi setidaknya ia telah peduli terhadap karya bangsanya sendiri. Intinya, kita tidak bisa memunculkan sikap bangga jika kita sama sekali tidak peduli terhadap segala hal yang ada di sekitar kita.
Apakah kedua sosok inspiratif tersebut tidak mampu menggugah hasrat pemuda untuk membakar hasrat yang telah lama padam dalam hatinya. Jika tidak, marilah kita mencari sosok yang dapat membakar hasrat kita. Tapi semua itu balik kepada diri masing-masing, sejauh apa kita mampu mempertahankan hasrat kita.
Darimana kita bisa mendapatkan atau menemukan hasrat tersebut? Hasrat untuk membangun bangsa ini. Hasrat untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini. Ya, setiap hasrat individu berbeda, karna tujuan hidup pun berbeda. Hasrat terlahir dari antusiasme yang ada dalam diri kita. Antusiasme yang merupakan bahasa serapan, terbentuk dari bahasa latin “En-Theos” yang berarti “God in us” atau bisa diartikan Tuhan dalam diri kita. Membentuk suatu hasrat untuk membangun bangsa ini tidaklah sulit, tetapi hal itu hanya berlaku bagi yang bersungguh-sungguh untuk menemukannya (hasrat).  Yakinlah hasrat itu akan datang, dan semoga hasrat itu sesuai dengan nilai yang tertanam dalam bangsa ini, karena jika terjadi sebuah kesamaan hasrat dan nilai kebangsaan, maka setiap tindakan yang akan diambil pastilah sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapai oleh pendiri dan pejuang bangsa ini.
Kebanggaan pada bangsa sendiri tidaklah memalukan, walaupun bangsa tersebut memiliki banyak masalah, mulai dari kehilangan jati dirinya hingga segala kerusakan terjadi dalam tubuhnya, tetapi kita harus meyakini bahwa itu adalah ujian, dan Tuhan menjanjikan “hadiah” bagi yang bisa melewati ujian secara tegar. “Hadiah” itu adalah, memberikan sebuah kekuatan untuk menghadapi ujian berikutnya. Jangan pernah padamkan hasrat untuk membangun bangsa ini pemuda garuda, karena hasrat kita akan membawa bangsa ini menjadi “macan yang bebas dari kandangnya”, mengaum layaknya dahulu kala. Jangan pernah pula berhenti bermimpi, karena suatu saat mimpi itu akan membawa kita pada sebuah kenyataan yang berjalan sesuai dengan hasrat yang kita miliki selama ini.

“Nilai adalah kumpulan jati diri, niat dan pedoman terbaik yang bisa dipikirkan oleh masing-masing orang”  -Kazuo Inamori-
Alamat Sekretariat:Jl. Pawiro Kuwat 187 B(Selatan Kampus FE UII) Condong Catur,Sleman Yogyakarta Indonesia
 
;