Pengurus HMI MPO Komisariat FE UII

" Ketua Umum : Idham Hamidi Sekretaris Umum : M.Arief Sukma Aji Wakil Sekretaris Umum : Geladis Fertiwi Bendahara Umum : Dovy Pradana Purnamawulan Kanit Keislaman : Agus Faryandi Kanit Pelatihan : Mujahid Musthafa Kanit Kajian dan Penlitian : Firzan Dwi Chandra Kanit Kewirausahaan : Muhammad Yadin Kanit PTKPJ : Teguh Hardityo Baskoro Kanit Pers dan Media Informasi : Egy Prastyo
Senin, 02 Mei 2011 0 komentar

SUARA BURUH

Tersebut nama pahlawan di tengah gemuruh
Berdiri tegak memberi pengaruh
Mengangkat tangan sambil berderuh
Menantang yang tak peduli pada buruh

Mendengar Mulut terpenuhi busa sumpah
Koca kacir seperti sampah
Padahal penderitaan buruh telah tumpah
Namun tetap saja tak naik upah

Mau sampai kapan kertas buram terpendam dalam lumpur
Mengenyam duka yang tak terukur
Basi seperti nasi  menjadi bubur
Kering seperti rumput di tanah tak subur

pikir dan bertindaklah pak direktur
jangan tidur dan mendengkur
selama ingin kita akur

pikir dan bertindaklah pak direktur
janganlah mengharap kami mundur
karena kami tak mau gugur

Oleh : M.Hosnol Fatah (Kanit Keislaman HMI MPO FE UII)
0 komentar

Mencegah Radikalisme dari Kampus

          Beberapa waktu terakhir ini pikiran dan tenaga kita tersita oleh berita di berbagai media mengenai rangkaian ancaman terorisme dan radikalisme yang terus menerus mengancam berbagai wilayah yang ada di Indonesia. Mulai bom buku di Utan Kayu  tanggal 15 maret 2011 yang sasarannya adalah Ulil Absar Abdala, anggota Jaringan Islam Liberal, sampai temuan terakhir tanggal 26 April 2011, ditemukannya bom di pintu air cililitan.

          Kegiatan teror dan radikal ini meresahkan berbagai kalangan masyarakat. Yang mengejutkan banyak pihak, ternyata sebagian besar pelaku bom buku dan perencana bom Serpong merupakan lulusan perguruan tinggi , bahkan diantaranya lulusan perguruan tinggi Islam. Pelaku jelas-jelas menunjukkan pemahaman keagamaan Islam dengan cara sempit, bercorak eksklusif, dan keras.

          Kampus yang selama ini dikenal sebagai tempat persemaian manusia berpandangan kritis, terbuka, dan intelek, ternyata tidak bisa imun terhadap pengaruh ideologi radikalisme. Radikalisme menyeruak menginfiltrasi kalangan mahasiswa di berbagai kampus. Dari masa ke masa di lingkungan kampus hampir selalu ada kelompok radikal baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.

          Kasus seperti diatas dapat ditemukan dalam skala berbeda di banyak perguruan tinggi. Beragam penelitian dan pengakuan mereka yang keluar dari sel-sel radikal dan ekstrim mengisyaratkan, mahasiswa perguruan tinggi umum lebih rentan terhadap rekruitment daripada mahasiswa mahasiwa perguruan tinggi  agama Islam. Gejala ini jelas berkaitan dengan kenyataan bahwa cara pandang mahasiswa perguruan tinggi umum khususnya bidang sains dan teknologi, cenderung hitam putih. Sedangkan mahasiswa perguruan tinggi agama Islam yang mendapat kergaman perspektif tentang islam cenderung lebih terbuka dan bernuansa ( Azyumardi Azra, Kompas, 27/4/11 )

          Perguruan tinggi Islam mempunyai peran besar dalam mengantarkan bangsa Indonesia sebagai bangsa dunia. Sedari dini generasi muda dan mahasiswa perlu dilatih berpikir dan berkomunikasi menggunakan dua bahasa sekaligus. Dua bahasa yang dimaksud kepatuhan dan tata pergaulan yang dapat memahamkan kalangan internal umatnya sendiri sekaligus dapat dipahami wilayah publik yang lebih luas di luar komunitasnya.

          Mendidik genersi baru yang sadar bahwa ia adalah warga dunia, yang tidak berpandangan ghetto, dan berkomunikasi dua bahasa merupakan pekerjaan pendidikan yang tidak mudah. Pengenalan pandangan dunia keislaman yang bercorak klasik, modern, dan postmodern merupakan prasyarat yang tidak bisa ditawar-tawar.

          Ideologi radikal dan teroristik tidak bisa diatas hanya dengan wacana, bahkan  tindakan represif aparat penegak hukum sekalipun. Ia harus dihadapi dengan kontra ideologi dan perspektif keindonesiaan yang utuh. Tidak perlu redesain kurikulum meynyeluruh karena hal itu akan mengganggu stabilitas akademis keilmuan. Yang mendesak perlu dilakukan adalah revitaslisasi mata kuliah yang bersifat ideologis pancasila, pendidikan kewarganegaraan, dan agama. ( Azra, 2011 )

          Azumardy Azra juga menambahkan, Pancasila yang marjinal sebagai negara sejak reformasi juga terjadi di perguruan tinggi negeri. Mata kuliah pancasila di beberapa perguruan tinggi diganti dengan Filsafat Pancasila atau dihapus sama sekali. Filsafat pancasila lebih sebagai wacana akademis daripada wacana ideologis. Padahal hanya dengan memahami pancasila tumbuh semangat kebangsaan keindonesiaan, dan kewarganegaraan yang bertanggung jawab. Agama semestinya tidak hanya mengulangi ajaran teologis-normatif agama, tetapi juga penguatan perspektif keagamaan-kebangsaan dan diorientasikan untuk penguatan sikap intelektual tentang keragaman agama serta toleransi intra agama dan antar agama serta anatara umat beragama dengan nagara.

          Yang tidak kurang kalah penting adalah revitalisasi lembaga, badan, dan organisasi kemahasiswaan intra maupun ekstra kampus. Organisasi-organisasi yang ada di kampus memegang peranan penting untuk mencegah berkembangnya paham radikalisme ini melalui pemahaman keagamaan dan kebangsaan yang komprehensif dan kaya makna.


          Keanggotaan dan aktivisme organisasi merupakan faktor penting untuk mencegah terjerumusnya seseorang ke dalam gerakan radikal yang ekstrem. Sebaliknya terdapat gejala kuat para mahasiswa yang non aktivis dan kutu buku sangat mudah terkesima sehingga segera dapat mengalami cuci otak dan indoktrinasi pemikiran radikal dan ekstrem. Mereka cenderung naïf dan polos karena tidak terbiasa berpikir analitis, kritis, seperti lazimnya dalam dkehidupan dunia aktivis.

          Menggalakkan propaganda anti radikalisme seharusnya menjadi salah satu agenda utama untuk memerangi gerakan radikalisme dari dalam kampus. Peran itu menjadi semakin penting karena organisasi mempunyai banyak jaringan dan pengikut sehingga akan memudahkan propaganda-propaganda kepada kader-kadernya. Jika ini dilaksanakan dengan konsisten, maka pelan tapi pasti gerakan radikalisme bisa dicegah tanpa harus menggunakan tindakan represif yang akan banyak memakan korban dan biaya.


Ditulis oleh : Lutfi Zanwar Kurniawan (Staf Kajian HMI MPO Komfak FE UII)
Mahasiswa FE UII, Jurusan Manajemen 2009.
Minggu, 01 Mei 2011 2 komentar

Amanah, bukan 'Rumah Makan'

              Menjadi sebuah kegelisahan ketika suatu hal yang kita ingin lakukan menjadi sulit untuk kita lakukan. Apalagi berbicara sebuah amanah. Pada hakekatnya, menjadi sebuah kewajiban (keharusan) untuk kita lakukan apa yang diamanahkan kepada kita. Berbicara amanah, simplenya kita maknai kepercayaan orang yang diberikan orang lain kepada diri kita. Mudah bukan, untuk memaknainya saja. Lantas, apa yang dipermasalahkan? Ya, sangatlah mudah untuk memaknai sebuah kata yang hanya melihat dari perspektif redaksional saja. Apa dibalik kepercayaan orang lain itu? Kemudian kenapa mereka mempercainya? Dan apa yang harus kita lakukan? Kalau kita tidak melakukan apa yang akan terjadi?.

          Di HMI, khususnya Komisariat HMI Komfak Ekonomi UII, tentunya banyak kader berucap demikian, ‘amanah’. Mari kita diskusikan bersama. Semua pasti berawal dari pribadi kita semua. Melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan manjauhi segala apa yang dilarang-Nya adalah amanah pertama yang kita emban dibumi ini, mulai dari kita lahir, bayangkan saja. Itu amanah yang akan kita pegang hingga mata ini terpejam untuk selamanya. Tetapi, kita coba melihat amanah mulai dari yang kecil dan ringan-ringan saja, terfokus pada komisariat. 

                Amanah pertama yang saya ingat adalah ketika pertama kali kita dilantik sebagai kader biasa HMI dimana melalui Latihan Kader 1. Berupa “sumpah” atau lebih enaknya kita sebut saja “ikrar pelantikan”. Setelah melalui prosesi Pelatihan kader tersebut, kita dianggap sebagai mahasiswa islam yang telah mendapatkan bekal baik berupa spiritual maupun intelektual dan telah siap memasuki ruang-ruang HMI, yang disebutkan sebagai Organisasi Perkaderan dan Perjuangan-Konstitusi. Diawal saja, kita telah mampu mengucapkan ikrar tersebut, dan selayaknya berarti kita “wajib” mengikuti segala apa yang ada di HMI, baik dari sisi Jenjang Pendidikan, Jenjang Karir, Proses Perkaderan, Partisipasi Kegiatan, dan segala sesuatu yang tertuang dalam Konstitusi HMI. Waw, sungguh “ideal” menjadi anggota dari Organisasi yang telah mampu memetakan anggotanya, dilihat dari pedoman yang digunakan. Sungguh menjadi sebuah tantangan tersendiri bagi mereka yang memposisikan dirinya sebagai kader HMI

          Kedua, kita bisa menelaah amanah yang lain dari segi Kegiatan. Misalnya, dalam kepanitiaan. Memang terlihat biasa saja ketika kita menjalani kepanitiaan. Tetapi, entah itu Ketua Panitia, Sekretaris Panitia bahkan seorang anggota divisi tentunya memiliki tanggung jawab tersendiri. Tanggung jawab apa? Ya, sesuai dengan posisi masing-masing. Semisal, kita sebut saja “bunga”. 'Bunga', sebagai seorang anggota/staff divisi merasa dirinya tidak memiliki tanggung jawab karena teman-teman lain sudah mampu menjalani job description divisinya. Lantas, bunga enggan bekerja sama dengan temannya dan mempercayakan semuanya kepada koordinator divisinya. Menurut kalian mungkin benar, ya tidak?? Tapi, satu hal yang perlu diperhatikan adalah fungsi staff/anggota dalam divisi tentunya agar dapat membantu kinerja dari koordinator divisi, bahkan dapat lebih dari itu. Ya benar, ini hanya hal yang sepele. Ingat, hal yang sepele kadang membuat kita merasa takabur. Ini pun, terkadang memberikan dampak tersendiri bagi kita. Jika seandainya menjadi bunga, mungkin saja semua orang tidak akan pernah memberikan peran penting bagi kita karena bunga tidak menjalankan fungsinya. Apa kata dunia, jika bunga diberikan peran sebagai ketua panitia, lalu berkesimpulan kalau tanpanya, teman-temannya dapat menjalankan kepanitiaan?.

            Terakhir, yang terlihat adalah amanah menjadi seorang pengurus atau bagian dari kepengurusan. Benar, ini bagian tahap awal kita membuktikan diri bahwasannya kita telah dapat menjalankan amanah-amanah semasa berdinamika layaknya seorang kader. Pengurus menjalani prosesi ikrar pelantikan yang dilantik oleh Ketua Cabang. Nah loh, sekarang Ketua Cabang yang kasih amanah. Tambah ribet kan? Jangan pusing dulu, tidak seperti momok misterius menjadi pengurus itu. Mudahnya, toh kita hanya menjalani tugas dan fungsi pengurus itu sendiri. Ya tidak? Sebagai seorang Pengayom, sebagai seorang yang membimbing, sebagai fasilitator, pun bisa juga kita bahasakan sebagai kakak untuk adik-adik kesayangan kita. Mudah bukan?? Tapi, tentunya, berjalan sesuai koridor-koridor yang diarahkan oleh Konstitusi dong. Eh, Tapi kan yang serah terima dari  pengurus sebelumnya hanya Ketua Umum dan Sekretaris Umum? Kok yang lain bisa jadi ikutan kena? Ya, kan nggak mungkin kalau semuanya ikutan tanda tangan diatas kertas putih, mereka itu sebagai perwakilan saja. Berarti, Kader yang telah dilantik tadi menjadi bagian dari amanah untuk menjadi Pengurus? Betul. Nah, pada tahap ini nantinya amanah yang diberikan kepada pengurus akan “dinilai” lewat Sidang dalam RAK (Rapat Anggota Komisariat). Kok pakai dinilai, memang ujian? Penilaian disini maksudnya adalah seberapa jauh kita menjalankan fungsi dan peran pengurus itu dalam satu periode. Tentunya, tidak mudah menjalankan amanah selama itu (satu periode= satu tahun). Membutuhkan sebuah kesadaran tertentu dan keistiqamahan yang selalu terjaga. Kesadaran akan ikrar pelantikan pengurus, kesadaran akan memberlanjutkan perkaderan di komisariat, kesadaran akan menjadi panutan dan banyak lainnya. Tanpa tetap istiqamah, tak kan mudah menjalani sesuatu yang sekali pun kita anggap mudah. Tetap berjalan dari niatan awal mengemban diri dalam struktur kepengurusan dan dalam track  yang tepat guna.

            Ketika kita sadar sebagai seorang insan manusia, tentunya kita wajib meyakini Sang Pencipta. Begitu pula, ketika kita sadar akan posisi kita baik dalam keluarga, lingkungan sekitar, sebagai mahasiswa bahkan seorang kader HMI sekalipun. Menyadari HMI akan terasa sulit ketika kita tak berada dalam bagiannya, utamanya kader. Berhimpun menjadi satu kesatuan oraganisasi yang meletakkan Islam sebagai asasnya serta Perkaderan dan Perjuangan sebagai gerak Organisasi, sangat sulit dibayangkan tanpa kita menjalaninya. Berbagai karakter muncul dan dapat membaur, tidak pudar. Mari bersama-sama menjadi seseorang yang senantiasa menjalankan amanah (kepercayaan) dengan mengharapkan ridho ALLAH SWT. Amien

(Sekretaris Umum HMI MPO FE UII, Aditya Eka "Andhong" Saputra) 

Alamat Sekretariat:Jl. Pawiro Kuwat 187 B(Selatan Kampus FE UII) Condong Catur,Sleman Yogyakarta Indonesia
 
;