Pengurus HMI MPO Komisariat FE UII

" Ketua Umum : Idham Hamidi Sekretaris Umum : M.Arief Sukma Aji Wakil Sekretaris Umum : Geladis Fertiwi Bendahara Umum : Dovy Pradana Purnamawulan Kanit Keislaman : Agus Faryandi Kanit Pelatihan : Mujahid Musthafa Kanit Kajian dan Penlitian : Firzan Dwi Chandra Kanit Kewirausahaan : Muhammad Yadin Kanit PTKPJ : Teguh Hardityo Baskoro Kanit Pers dan Media Informasi : Egy Prastyo
Jumat, 31 Oktober 2014 0 komentar

USAHA

Hasil Kajian tanggal 30 Oktober 2014 

USAHA 

Perlu memahami bahwasannya islam adalah satu.Untuk itu sangat diperlukan sikap logowo dan terbuka terhadap perubahan yang terjadi pada zaman sekarang ini. Walaupun pada awalnya kita terkotak-kotak pada ideologi masing-masing secara pelaksanaannya, tapi semua harus bisa saling menghargai karna pada dasarnya sama dan semua ada landasan yang jelas mengenai apa yang dilakukan.Oleh karena itu, kita harus berparadigma bahwasannya HMI itu bagian dari islam dan ormas maupun organisasi lain ( yang sesuai dengan al qur”an dan as sunnah ) itu juga bagian dari islam. Maka kita tidak akan saling bermusuhan maupun saling mengejek atau menjatuhkan karna merasa bagian dari islam.

Tujuan adalah sebuah pegangan, sebagaimana umat islam memiliki syahadat yang berfungsi sebagai dasar dan tujuan atas proses hijrah kediriannya. Hijrah inilah  yang dimakni oleh HMI sebagai bentuk ikhtiar dalam mencapai tujuan kediriannya manusia sebagai makhluk dari sang khalik.Simbolik hijrah yaitu ingin menciptakan “Insan Ulil Albab”, Insan yang mengikuti Nabi Muhammad SAW.

1. Amar Ma’aruf Nafi Munkar
Amar ma’ruf bermakna menyampaikan kebenaran adalah sebuah sikap untuk menunjukan bahwa saya telah bersyahadat dan kamu sekalian harus mengetahui bahwa syahadat adalah titik keberangkatan atas sebuah keimanan maka bersyahadatlah.
Amar ma’ruf harus dimulai dari diri kita sendiri bagaimana kita bertingkah laku. Ketika ingin mengigatkan pada amar ma’ruf harus disampaikan dengan konsep yang benar dan waktu yang tepat agar semua tidak percuma. Secara jelas dan cepat step dalam penetapan amar ma’ruf “ Syahadat - >  Iman - > Amanah - > Aman. Manfaat dari amar ma’ruf nahi munkar merupakan turunan terjadinnya pembentukan Individudan dan  Masyarakat yang diridhoi Alloh SWT.


Rabu, 22 Oktober 2014 0 komentar

Hari Raya Qurban




























0 komentar

MAPERCA 2014










Sabtu, 11 Oktober 2014 0 komentar

IMPROVE YOURSELF

IMPROVE YOURSELF
Oleh: M. Najib Murobbi
Bismillahirrahmanirrahim..
Hari begitu cepat melewati langkah-langkah hari sebelumnya seperti udara yang berhembus melewati semua sudut-sudut yang ada di muka bumi tanpa kita rasakan. Mayoritas kita sebagai manusia hanya sekedar merayakan awal yang baru, hari yang baru, waktu yang baru tanpa kita berintropeksi atas aspek-aspek perbuatan kita sebelumnya. Kita bahkan sangat sedikit yang memikirkan atau mempercayai akan sesuatu hal yang pasti tetapi belum terjadi. Akan tetapi kita terlalu percaya dengan hal-hal yang belum tentu terjadi. Contohnya saja ketika saya berada di Yogyakarta pernah ada isu akan meletusnya gunung Merapi, semua masyarakat Yogyakarta dari semua wilayah serentak melarikan diri mengemas barang-barang mereka.
 Coba kita lihat dari kisah yang sangat sederhana sekali, kisah di atas hanya sekedar isu dan opini, betapa gelisahnya mereka yang hanya sekedar isu. Coba kita lihat ke arah fakta Al-qur’an yang mempunyai isi tidak diragukan lagi kebenarannya. Seperti contoh, surat Al-baqarah ayat 1,”Dzalikal kitaabu laa raiba fiih”. Dalam ayat tersebut sudah sangat jelas maksud dan artinya, mungkin kita sebagai orang yang awam bisa mengetahui maksud dan arti ayat tersebut. Akan tetapi mengapa kita sedikit sekali yang mempercayainya, melaksanakannya, membenakannya, bahkan kita meremehkannya dan yang lebih dari itu kita sangat jarang membacanya. Dalam kitab Sullamu At-taufiq, bahwasannya salah satu maksiat lisan adalah salah membaca Al-qur’an dan yang namanya maksiat itu sangat luasdan mungkin kita sering melakukannya entah kapan kita merasakannya.
Saya pernah membaca suatu buku yang salah satunya adalah hadist Rasululahi sallahu a’laihi wasallama, yang berbunyi: diriwayatkan dari Anas ibnu Malik bahwa Rasulullah bersabda,”Di akhir zaman nanti umatku terbagi menjadi tiga kelompok, satu kelompok beribadah kepada Allah dengan ikhlas, satu kelompok beribadah kepada Allah untuk pamer, dan kelompok ketiga beribadah kepada Allah agar orang lain memberinya makan. Saat Allah mengumpulkan mereka pada hari kiamat. Allah bertanya kepada kelompok yang beribadah agar diberi makan oleh orang lain, “Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, kami beribadah agar orang lain memberi makan”, Allah berfirman, “Semua yang kalian kumpulkan tidak akan bermanfaat “. Dia lalu berseru, “Giringlah mereka semua ke neraka!”.
Allah bertanya kepada kelompok yang beribadah untuk pamer, “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, apa tujuan kalian beribadah kepada-Ku?”. Mereka menjawab, “Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, kami beribadah pada-Mu karena ingin dipuji manusia”.Allah berfirman, “Tidak satupun ibadah kalian yang kuterima”. Dia berseru, ”Giringlah mereka semua ke neraka!”.
Allah bertanya kepada kelompok yang beribadah dengan ikhlas, “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, apa tujuan kalian beribadah kepada-Ku?”. Mereka menjawab, “Demi kemuliaan dan keagungan-Mu, engkau lebih mengetahui tujuan kami. Kami beribadah untuk megingat-Mu dan meraih ridha-Mu”. Allah berfirman, “Hamba-Ku benar”. Dia lalu berseru, “Tuntunlah mereka ke surga!”.
Bahkan amal yang sangat mulia termasuk syahid karena berperang di jalan Allah, bersedekah, dan menuntut ilmu tidak berarti apa-apa jika semua kebaikan itu dilakukan dengan niat yang disertai riya atau keinginan dipuji oleh orang lain. Maksud hadist tersebut sangatlah jelas agar kita khususnya pengemban dakwah (Da’i) agar menjauhkan diri dari sifat riya yang lebih identik dengan mengharap sesuatu dari manusia yang hanya bersifat sementara.
0 komentar

Kemunduran Demokrasi, Reformasi atau Mati ?

Kemunduran Demokrasi, Reformasi atau Mati?
Oleh Restin S
Kulihat ibu pertiwi sedang bersusah hati, air matamu berlinang, mas intanmu terkenang. Hutan gunung sawah lautan simpanan kekayaan. Kini ibu sedang susah, merintih dan berdoa. (Bait pertama-Ibu Pertiwi)
Indonesia sudah menjadi negara demokrasi sejak awal kemerdekaannya. Demokrasi bagi Indonesia berarti asas pemerintahan berdasar pada rakyat. Kedaulatan rakyat ditandai dengan pemilihan umum (pemilu) sehingga rakyat mengamanahkan posisi wakil rakyat kepada pemimpin yang dipilihnya. Akan tetapi kini demokrasi Indonesia telah dicederai dengan adanya Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada). UU Pilkada yang masih menjadi polemik hingga kini telah mengembalikan pemilihan kepala daerah lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Sudah tepatkah pengesahan UU Pilkada yang penuh polemik? Benarkah suara rakyat akan hilang dalam Pilkada tak langsung? Akankah reformasi yang sudah berjalan kini sia-sia? Atas keonaran yang anggota dewan sering kisruhkan masih layakkah Pilkada tak langsung dijalankannya? Suara rakyat yang mati atau matikan suara wakil rakyat?
Lewat Pilkada tak langsung, wakil rakyat telah menghapus hak konstitusional rakyat untuk menentukan pilihan politiknya. Kepala daerah duduk atas amanah rakyat sehingga semestinya menjalankan perintah rakyat. Inilah pilihan rakyat, relevenkah hak politik rakyat dialihkan pada wakilnya. Karena setiap rakyat memiliki hak politik yang mereka gunakan ketika pemilu. Inilah wajah kemunduran demokrasi Indonesia.
Polemik tak hanya berkisar seputar Pilkada tak langsung, wacana berkembang untuk mengembalikan pemilihan presiden (pilpres) lewat MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Tidak hanya itu, upaya pelemahan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) dan MK (Mahkamah Konstitusi) tengah menuai kekhawatiran publik. Ketika haus kekuasaan tengah melanda elite politik Indonesia maka kepentingan rakyat tidak akan menjadi yang utama. Bagaimana menyelamatkan Ibu Pertiwi kalau rakyat dan wakilnya tidak sejalan. Demokrasi harus ditegakan dan dijaga kedaulatan rakyatnya. Tidak lagi ego individu atau golongan yang diutamakan. Menjadikan Ibu Pertiwi bangga memiliki putera puteri bangsa yang rela berkorban untunknya.
Tidak lagi kita dapat berpangku tangan melihat negeri yang dicederai oleh kepentingan politik semata. Bukan orang lain dan tidak menunggu mereka yang enggan berjuang. Mari buktikan di tangan kita generasi muda penerus bangsa, demokrasi tidak akan mati. Menjadi insan ulil albab dan menentukan arah pergerakan demi Indonesia yang demokratis. Membentuk tatanan masyarakat yang diridhoi Allah SWT. Perubahan tidak akan pernah ada tanpa perjuangan. Mari melawan ketidakadilan, yakin usaha sampai bersama kita bisa kawan!

Kulihat Ibu Pertiwi, kami datang berbakti. Lihatlah putra putrimu, menggembirakan ibu. Ibu kami tetap cinta, putramu yang setia menjaga harta pusaka untuk nusa dan bangsa. (Bait kedua-Ibu Pertiwi)
Jumat, 10 Oktober 2014 0 komentar

GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG CERDAS LEGENDARIS

TAN MALAKA (1897-1949)
GERILYAWAN REVOLUSIONER YANG LEGENDARIS
Oleh : Wahid
Tan Malaka –lengkapnya Ibrahim Datuk Tan Malaka—menurut keturunannya ia termasuk suku bangsa Minangkabau. Pada tanggal 2 Juni 1897 di desa Pandan Gadang–Sumatra Barat—Tan Malaka dilahirkan. Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, bahkan dapat dikatakan sejajar dengan tokoh-tokoh nasional yang membawa bangsa Indonesia sampai saat kemerdekaan seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh.Yamin dan lain-lain.
Pejuang yang militan, radikal dan revolusioner ini telah banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang orisinil, berbobot dan brilian hingga berperan besar dalam sejarah perjaungan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih maka ia mendapat julukan tokoh revolusioner yang legendaris.
Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda. Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Syarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan  aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.
Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan pertama: memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain); kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran (hobby) mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan; ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum kromo (lemah/miskin). Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.
Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh “Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti menglami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan didorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner”.
Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya. Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program dan taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskow diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.
Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda ia meletakkan tanggung jawab yang saangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso. Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu. Pemberontakan 1926 hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia. Maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya. Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digul Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan  dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka perjaungan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.
Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibukota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI). Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis “Menuju Republik Indonesia”. Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Cina, April 1925. Prof. Moh. Yamin sejarawan dan pakar hukum kenamaan kita, dalam karya tulisnya “Tan Malaka Bapak Republik Indonesia” memberi komentar: “Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah….”
Ciri khas gagasan Tan Malaka adalah: (1) Dibentuk dengan cara berpikir ilmiah berdasarkan ilmu bukti, (2) Bersifat Indonesia sentris, (3) Futuristik dan (4) Mandiri, konsekwen serta konsisten. Tan Malaka menuangkan gagasan-gagasannya ke dalam sekitar 27 buku, brosur dan ratusan artikel di berbagai surat kabar terbitan Hindia Belanda. Karya besarnya “MADILOG” mengajak dan memperkenalkan kepada bangsa Indonesia cara berpikir ilmiah bukan berpikir secara kaji atau hafalan, bukan secara “Text book thinking”, atau bukan dogmatis dan bukan doktriner.
Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme  yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya dimulai dengan Indonesia. Konkritnya rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya. Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang  sejarahnya bukanlah cara berpikir yang “text book thinking” dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dicetuskan sejak tahun 1925 lewat “Naar de Republiek Indonesia”.

Jika kita membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (“Gerpolek”-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan kita temukan benang putih keilmiahan dan keIndonesiaan serta benang merah kemandirian, sikap konsekwen dan konsisten yang direnda jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangan implementasinya.
Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu.
Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi republik Indonesia akibat Perjanjian Linggarjati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai MURBA, 7 November 1948 di Yogyakarta. Dan pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka gugur, hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan “Gerilya Pembela Proklamasi” di Pethok, Kediri, Jawa Timur.
Namun berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Sukarno 28 Maret 1963 menetapkan bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. (Bek)

BERGELAP-GELAPLAH DALAM TERANG, BERTERANG-TERANGLAH DALAM GELAP! (TAN MALAKA)

0 komentar

Paradigma Publik

Paradigma Publik
Oleh : Wahid
Satu social ontology yang sampai kini masih mengendap dalam memori kolektif bangsa ini, adalah soal "dasar negara", yaitu orientasi transendental yang dituntut untuk menjadi ideal dari kehidupan publik. Pertanyaan tentang apakah negara harus berdasarkan agama atau tidak, sampai kini belum berani dijawab secara final, bukan karena tidak ada jawaban rasional untuk itu, melainkan karena toleransi semu terhadap kemajemukan yang terus dipertahankan selama ini.
Kendati konstitusi tidak menyatakan "kedaulatan Tuhan" sebagai dasar negara, namun obsesi pendasaran transendental itu tidak pernah hilang dari debat politik, setiap kali kesempatan terbuka. Padahal, terbukanya kesempatan untuk debat semacam itu, sudah dari awal mengandung potensi pengerasan ideologis, sehingga jalan keluar tidak mungkin lagi satu.Tetapi untuk apa sebetulnya mengupayakan jalan keluar bagi kenyataan kebudayaan yang berbeda itu? Untuk apa visi kehidupan individual hendak diatur oleh negara? Untuk apa orientasi teologis mau dilembagakan dalam politik. Untuk apa nilai kebudayaan ingin disusun dalam hirarki?
Kita memang menyimpan semacam collective memory yang obsesif terhadap sejarah perumusan dasar negara, yang seakan-akan mengabaikan suatu kenyataan politik identitas. Identitas adalah ciri yang melekat pada setiap kehidupan berkelompok. Dengan identitas, suatu kelompok membedakan diri dari kelompok yang lain. Identitas, dengan demikian, bukan saja berfungsi mengikat, tapi sekaligus mengamankan. Rasa aman yang diberikan oleh kelompok adalah bentuk paling primitif dari konsep perlindungan.  
Bentuk moderennya kita peroleh dari hukum. Pada taraf primitif, hak individu melebur dalam hak kelompok. Ini logis saja, karena dalam keadaan homogen, tidak ada kepentingan yang perlu dibedakan. Karena itu, solidaritas sekaligus berarti hak dan kewajiban bersama. Didalam kehidupan politik moderen, hak individu mengalami sekularisasi. Ia tidak lagi berinduk pada otoritas kelompok, melainkan pada otoritas hukum. Dalam bentuk ini, hubungan hak dan kewajiban menjadi tanggung jawab individual. Artinya, ada tukar menukar hak berdasarkan prinsip pacta sunt servanda. Karena itu, konsep perlindungan berubah menjadi perlindungan hukum, yang jaminan tertingginya diberikan oleh otoritas publik. Itulah alasan mengapa kita percaya pada imparsialitas negara. Konsekwensinya, di dalam lalulintas politik publik, setiap orang hanya boleh menyandang satu identitas, yaitu sebagai warga negara (citizen). Bahwa ia juga adalah anggota dari suatu komunitas, itu adalah identitas non publik. Dan negara tidak boleh ikut mengatur wilayah itu. Itu adalah ruang hak asasi individu. Sebalikuya, identitas non publik itu tidak boleh dipakai (apalagi dipaksakan) sebagai norma bernegara. Karena negara adalah ruang komunikasi publik, maka hanya norma publiklah yang boleh dipakai di sana.
Dalam maknanya yang moderen, republik adalah sebuah konstruksi sekuler. Ia dibuat untuk menghalangi kembalinya feodalisme dan mendudukan orang sederajat di kursi hukum. Konsekwensi pertama dari sistem republik adalah bahwa politik sepenuh-penuhnya bekerja di wilayah publik (public realm). Dan di wilayah itu, ukuran-ukuran sosial hanya ditentukan oleh hukum publik semata-mata. Menjadi warga negara berarti keluar dari mentalitas komunal dan masuk dalam mentalitas publik. Itulah artinya republik.Tentu saja negara, demi prinsip hak asasi manusia harus melindungi sepenuhnya hak-hak komunal. Tetapi penerapan hak-hak itu tidak boleh melimpah ke wilayah publik. Begitu batas itu dilewati, maka konflik horisontal segera terjadi, karena setiap golongan merasa punya kebenaran final dalam politik. Padahal, perpolitikan di wilayah publik tidak mengenal formalitas. Dan keindahan kehidupan politik justeru terletak pada ketiadaan formalitas itu. Sebaliknya, mentalitas komunal secara intrinsik selalu mengejar formalitas. Dalam konteks perkembangan politik di Indonesia, ada kebutuhan untuk mencari titik orientasi kebudayaan politik pasca otoriterisme. Kuatnya sentimen-sentimen primordial dalam kehidupan politik publik adalah perkembangan yang kurang sehat bagi demokrasi dan pluralitas. Bahkan primordialisasi politik itu sudah menyebabkan perseteruan berdarah di beberapa tempat di Indonesia.
Agaknya semakin sukar diselenggarakan proses rekonsiliasi di dalam keadaan dimana acuanacuan politik masih diandalkan pada kebenaran-kebenaran primordial. Di tingkat dimana keyakinan primordial bekerja secara homogen, tidak akan ada persoalan dengan implementasi politiknya. Tetapi dalam tingkat politik publik dimana heterogenitas merupakan kondisi yang harus ada, maka pendasaran primordial tidak mungkin dipakai untuk menopang orientasi politik bersama. Inilah alasannya mengapa kita membutahkan suatu titik orientasi lain yang secara kultural sepadan dengan situasi politik moderen yang heterogen. Kita di Indonesia sedang berada di dalam situasi sosial yang nyaris tanpa acuan etika politik. Itu terutama karena macetnya diskursus sosial yang rasional di dalam pertengkaran ideologi sekarang ini.

0 komentar

Memposisikan Pemuda

Memposisikan Pemuda
Oleh : Wahid

Mahasiswa sebagai elemen pemuda memiliki posisi, potensi, dan peran khusus di dalam masyarakat. Nah semuanya itu kita sebut sebagai Identitas Mahasiswa. Posisi manusia di masyarakat dibagi menjadi tiga, antara lain masyarakat politik, masyarakat ekonomi, dan masyarakat sipil. Seorang manusia bisa menempati lebih dari satu posisi masyarakat tersebut, bahkan bisa seseorang yang berada di ketiga tempat tersebut.
Masyarakat politik adalah masyarakat yang memperjuangkan sesuatu demi posisi dalam kekuasaan. Mereka mulai dari politikus-politikus sampai karyawan yang ingin naik jabatan di dalam sebuah perusahaan. Masyarakat ekonomi adalah mereka yang berusaha mengejar sesuatu untuk mendapat sebuah keuntungan materi atau modal. Mereka dihuni oleh para pengusaha-pengusaha baik yang kapitalis sampai kekoperasian. Tergantung kombinasi masyarakat yang mereka huni. Masyarakat sipil adalah masyarakat yang berjuang dalam pembangunan bangsa tanpa menginginkan sebuah posisi di dalam kekuasaan ataupun keuntungan materi. Ini dihuni oleh kebanyakan manusia, mereka dari rakyat biasa sampai mahasiswa yang aktif.
Untuk mahasiswa sebagai pemuda bisa dikatakan sebagai masyarakat sipil. Akan tetapi masyarakat sipil memiliki kekhususan buat mahasiswa. Jadi mahasiswa merupakan masyarakat sipil yang khusus. Ini disebabkan karena mahasiswa mempunyai potensi yang lain dibanding masyarakat sipil seperti biasanya.
Potensi kita tau adalah sesuatu yang tersimpan, sesuatu yang perlu untuk digali dan dikembangkan, baik itu yang baik maupun yang buruk. Potensi mahasiswa sebagai pemuda antara lain adalah kritis. Kritis itu adalah tanggap terhadap masalah dan berusaha menyelesaikan masalah dengan pemikiran-pemikiran yang benar. Selain kritis mahasiswa juga punya potensi idealis, idealis disini karena mahasiswa sebagai manusia-manusia yang dididik dalam suasana kampus yang ideal. Masyarakat sekitar mereaka yang idealis ataupun sejak kecil mereka belum pernah merasakan realism kehidupan. Mahasiswa juga memiliki potensi sebagai penggerak yang independen. Independen maksudnya mahasiswa mampu bergerak sendiri, mahasiswa sebagai memiliki ilmu-ilmu yang variatif bisa saling berkoordinasi membentuk sebuah gerakan yang mandiri tanpa campur tangan oknum lain termasuk pemerintahan. Selain itu juga mahasiswa memiliki kreatifitas, daya juang yang tinggi dan lain-lain.
Setelah kita lihat potensi, mari kita lihat beberapa peran seorang mahasiswa sebagai elemen pemuda. Pemuda mempunyai paling tidak tiga peran, yang pertama Guardian Value( penjaga nilai), maksudnya mahasiswa dengan potensi idealisme, kritis dan daya juang tinggi mahasiswa bisa berlaku sebagai kontrol social ataupun pelurus nilai-nilai luhur yang hendak dicapai. Yang kedua mahasiswa memiliki peran sebagai Iron stock( persedian besi), maksudnya bahwa pemuda memiliki potensi ilmu, memiliki kreatifitas.
 Bakat kepemimpinan adalah asset buat masa depan sebagai generasi yang akan meneruskan pergerakan pemerintahan. Selain itu pemuda mempunyai peran juga sebagai Agen of Change (pembawa perubahan). Ini dikarenakan mahasiswa mempunyai kombinasi-kombinasi potensi seperti kritis, idelais, kreatif dan independen maka gerakan mereka membawa sebuah perubahan ke arah yang lebih baik.


                                                                                 
Alamat Sekretariat:Jl. Pawiro Kuwat 187 B(Selatan Kampus FE UII) Condong Catur,Sleman Yogyakarta Indonesia
 
;