Paradigma Publik
Oleh : Wahid
Satu social ontology yang sampai
kini masih mengendap dalam memori kolektif bangsa ini, adalah soal "dasar
negara", yaitu orientasi transendental yang dituntut untuk menjadi ideal
dari kehidupan publik. Pertanyaan tentang apakah negara harus berdasarkan agama
atau tidak, sampai kini belum berani dijawab secara final, bukan karena tidak
ada jawaban rasional untuk itu, melainkan karena toleransi semu terhadap
kemajemukan yang terus dipertahankan selama ini.
Kendati konstitusi tidak
menyatakan "kedaulatan Tuhan" sebagai dasar negara, namun obsesi
pendasaran transendental itu tidak pernah hilang dari debat politik, setiap
kali kesempatan terbuka. Padahal, terbukanya kesempatan untuk debat semacam
itu, sudah dari awal mengandung potensi pengerasan ideologis, sehingga jalan
keluar tidak mungkin lagi satu.Tetapi untuk apa sebetulnya mengupayakan jalan
keluar bagi kenyataan kebudayaan yang berbeda itu? Untuk apa visi kehidupan
individual hendak diatur oleh negara? Untuk apa orientasi teologis mau dilembagakan
dalam politik. Untuk apa nilai kebudayaan ingin disusun dalam hirarki?
Kita memang menyimpan semacam
collective memory yang obsesif terhadap sejarah perumusan dasar negara, yang
seakan-akan mengabaikan suatu kenyataan politik identitas. Identitas adalah ciri yang melekat pada
setiap kehidupan berkelompok. Dengan identitas, suatu kelompok membedakan diri
dari kelompok yang lain. Identitas, dengan demikian, bukan saja berfungsi
mengikat, tapi sekaligus mengamankan. Rasa aman yang
diberikan oleh kelompok adalah bentuk paling primitif dari konsep perlindungan.
Bentuk moderennya kita peroleh
dari hukum. Pada taraf primitif, hak individu melebur dalam hak kelompok. Ini
logis saja, karena dalam keadaan homogen, tidak ada kepentingan yang perlu
dibedakan. Karena itu, solidaritas sekaligus berarti hak dan kewajiban bersama. Didalam kehidupan politik moderen, hak
individu mengalami sekularisasi. Ia tidak lagi berinduk pada otoritas kelompok,
melainkan pada otoritas hukum. Dalam bentuk ini, hubungan hak dan kewajiban
menjadi tanggung jawab individual. Artinya, ada tukar menukar hak berdasarkan
prinsip pacta sunt servanda. Karena itu, konsep perlindungan berubah menjadi
perlindungan hukum, yang jaminan tertingginya diberikan oleh otoritas
publik. Itulah alasan mengapa kita percaya pada imparsialitas negara.
Konsekwensinya, di dalam lalulintas politik publik, setiap orang hanya boleh
menyandang satu identitas, yaitu sebagai warga negara (citizen). Bahwa ia juga
adalah anggota dari suatu komunitas, itu adalah identitas non publik. Dan
negara tidak boleh ikut mengatur wilayah itu. Itu adalah ruang hak asasi
individu. Sebalikuya, identitas non publik itu tidak boleh dipakai (apalagi
dipaksakan) sebagai norma bernegara. Karena negara adalah ruang komunikasi
publik, maka hanya norma publiklah yang boleh dipakai di sana.
Dalam maknanya yang moderen,
republik adalah sebuah konstruksi sekuler. Ia dibuat untuk menghalangi
kembalinya feodalisme dan mendudukan orang sederajat di kursi hukum.
Konsekwensi pertama dari sistem republik adalah bahwa politik sepenuh-penuhnya
bekerja di wilayah publik (public realm). Dan di wilayah itu, ukuran-ukuran
sosial hanya ditentukan oleh hukum publik semata-mata. Menjadi warga negara
berarti keluar dari mentalitas komunal dan masuk dalam mentalitas publik.
Itulah artinya republik.Tentu saja negara, demi prinsip hak asasi manusia harus
melindungi sepenuhnya hak-hak komunal. Tetapi penerapan hak-hak itu tidak boleh
melimpah ke wilayah publik. Begitu batas itu dilewati, maka konflik horisontal
segera terjadi, karena setiap golongan merasa punya kebenaran final dalam
politik. Padahal, perpolitikan di wilayah publik tidak mengenal formalitas. Dan keindahan kehidupan politik
justeru terletak pada ketiadaan formalitas itu. Sebaliknya,
mentalitas komunal secara intrinsik selalu mengejar formalitas. Dalam konteks perkembangan politik di
Indonesia, ada kebutuhan untuk mencari titik orientasi kebudayaan politik pasca
otoriterisme. Kuatnya sentimen-sentimen primordial dalam kehidupan politik
publik adalah perkembangan yang kurang sehat bagi demokrasi dan pluralitas. Bahkan primordialisasi politik itu sudah
menyebabkan perseteruan berdarah di beberapa tempat di Indonesia.
Agaknya semakin sukar
diselenggarakan proses rekonsiliasi di dalam keadaan dimana acuanacuan politik
masih diandalkan pada kebenaran-kebenaran primordial. Di tingkat dimana
keyakinan primordial bekerja secara homogen, tidak akan ada persoalan dengan
implementasi politiknya. Tetapi dalam tingkat politik publik dimana
heterogenitas merupakan kondisi yang harus ada, maka pendasaran primordial
tidak mungkin dipakai untuk menopang orientasi politik bersama. Inilah
alasannya mengapa kita membutahkan suatu titik orientasi lain yang secara
kultural sepadan dengan situasi politik moderen yang heterogen. Kita di Indonesia sedang berada di dalam
situasi sosial yang nyaris tanpa acuan etika politik. Itu terutama karena
macetnya diskursus sosial yang rasional di dalam pertengkaran ideologi sekarang
ini.
0 komentar:
Posting Komentar